Artikel ~ Pada 2 Mei setiap tahun, kita dengan khidmat merayakan Hari Pendidikan Nasional. Poster-poster Ki Hajar Dewantara terpajang di dinding sekolah disertai kutipan legendarisnya: ”Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Namun, mari kita bertanya dengan jujur: apa arti kutipan itu hari ini? Masih hidupkah ia di ruang kelas kita atau hanya jadi slogan tanpa roh?
Ironisnya, tokoh yang menyerukan pendidikan sebagai jalan kemerdekaan kini justru ”diperingati”, bukan ”dihidupi”. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa bukan sekadar sekolah, melainkan taman kemerdekaan berpikir, tempat anak-anak belajar menjadi manusia yang utuh—penuh rasa, karsa, dan cipta.
Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa pendidikan seharusnya mengembangkan akhlak, kecerdasan, dan kekuatan jasmani anak secara seimbang. Ia menolak keras sistem pendidikan kolonial yang hanya bertujuan mencetak pegawai, serta menyoroti pentingnya pembentukan budi pekerti, keberanian berpikir kritis, dan pendidikan yang berpijak pada budaya lokal. Gagasan ini dikutip oleh Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa dalam buku Pemikiran, Perjuangan, dan Keteladanan Ki Hadjar Dewantara (2004).
Namun, apa yang terjadi satu abad kemudian? Pendidikan Indonesia justru menjelma menjadi mesin penghafal. Ujian nasional, asesmen minimum, kurikulum teknokratis, dan obsesi terhadap peringkat internasional telah menggusur roh pendidikan yang memanusiakan. Guru jadi pelaksana administrasi; siswa jadi obyek penilaian; di sekolah, yang penting bukan lagi berpikir, melainkan mengisi lembar jawaban dengan benar.
Ki Hajar ingin kita merdeka, tetapi sistem justru mendidik kita untuk tunduk. Inilah tragedi kita: sejarah pendidikan Indonesia tak dibajak oleh penjajah, tetapi dikerdilkan oleh anak cucunya sendiri. Kita merayakan tokohnya, tetapi mengabaikan pikirannya; kita membangun sekolah megah, tetapi mengabaikan nilai; pendidikan yang seharusnya membebaskan (Illich, 1971), kini hanya melanggengkan ketertundukan.
Di sinilah pentingnya menggugat banalitas pendidikan: bukan karena ia tampak jahat, melainkan karena ia membunuh keberanian berpikir dengan cara yang halus dan sistemik. Membaca ulang Arendt, saya teringat para guru dan tenaga kependidikan—yang pasti tak bermaksud merusak, hanya setia mengikuti aturan tanpa tanya.
Namun, siapa yang menyusun aturan itu? Apakah mereka pun sekadar menjalankan atau diam-diam tahu tetapi memilih diam? Barangkali di sanalah banalitas bersembunyi: bukan dalam kebengisan, melainkan dalam ketakpedulian yang membudaya. Maka, tak heran jika kita temukan guru yang mengajar tanpa makna, kurikulum yang berjalan tanpa jiwa, dan siswa yang lulus tanpa pernah tahu apa arti belajar.(*)
.jpg)

"Terimakasih atas komentar yang anda tulis, dalam waktu 2x24 jam kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk merespont, jika ingin segera/fashrespon silahkan langsung menguhubungi Admin kami di +6285702464677"